β-BLOKER SEBAGAI ANTIHIPERTENSI
A.
PENGATURAN
TEKANAN DARAH
Tekanan
darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung (cardiac output) dan resistensi vaskular
perifer (peripheral vascular resistance).
Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi
sekuncup (stroke volume).
B.
KLASIFIKASI
HIPERTENSI
Berdasarkan
etiologinya hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi
esensial
Hipertensi
esensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan
dasr patologi yang jelaas. Penyebabnya multifaktorial meliputi genetik dan
lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan
terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi
insulin. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain, diet, kebiasaan
merokok, stres emosi, dan obesitas.
2. Hipertensi
sekunder
Meliputi
5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipetensi
akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf
pusat dan obat-obatan.
C.
MEKANISME
ANTI HIPERTENSI
Berbagai
mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-bloker dapat dikaitkan
dengan hambatan reseptor β1, antara lain :
1. Penurunan
frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah
jantung.
2. Hambatan
sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan
produksi AT II.
3. Efek
sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan
biosintesis protasiklin.
D.
β-BLOKER
Golongan obat ini
menghambat adrenoreseptor beta (β-bloker) menghambat adrenoreseptor beta di
jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas, dan hati. Penggunaan
beta-bloker pada anak masih terbatas.
Saat ini tersedia banyak beta-bloker yang
pada umumnya menunjukkan efektivitas yang sama. Namun, terdapat perbedaan-perbedaan
di antara berbagai beta-bloker, yang akan mempengaruhi pilihan dalam mengobati
penyakit atau pasien tertentu. Aktivitas simpatomimetik intrinsik menunjukkan
kapasitas beta-bloker untuk merangsang maupun memblok reseptor adrenergik.
Beberapa beta-bloker (oksirenolol, pindolol,
asebutolol) mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik. Obat-obat ini
cenderung kurang menimbulkan bradikardi dibanding beta-bloker lainnya, dan
mungkin juga kurang menimbulkan rasa dingin pada kaki dan tangan.
Beberapa beta-bloker larut dalam lemak dan
beberapa yang lain larut dalam air. Yang paling larut dalam air adalah
atenolol, nadolol, dan sotalol. Karenanya, beta-bloker tersebut sukar masuk ke
dalam otak, sehingga kurang menimbulkan gangguan tidur dan mimpi buruk.
Beta-bloker larut air tersebut diekskresi oleh ginjal dan seringkali diperlukan
pengurangan dosis pada gangguan ginjal.
Beta-bloker yang masa kerjanaya relatif
singkat harus diberikan 2 atau 3 kali sehari. Namun, banyak diantaranya yang
tersedia sebagai sediaan lepas lambat, sehingga pemberiannya untuk hipertensi
cukup sekali sehari. Untuk angina, meskipun dengan sediaan lepas lambat
kadang-kadang masih perlu diberikan 2 kali sehari. Beberapa beta-bloker seperti
atenolol, bisoprolol, karvedilol, dan nadolol memiliki masa kerja yang panjang
sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari.
Beta-bloker memperlamabat denyut jantung dan
dapat menyebabkan depresi miokard. Beta-bloker dikontraindikasi pada pasien
termasuk anak-anak dengan blok AV derjat dua atau tiga. Beta-bloker harus juga
dihindari pada pasien gagal jantung tidak stabil yang memburuk. Diperlukan
kehati-hatian dalam memulai pemberian beta-bloker pada pasien gagal jantung
stabil. Sotalol dapat memperpanjang interval QT, dan kadang-kadang menyebabkan aritmia
ventrikel yang mengancam jiwa (perhatian khusus untuk menghindari hipokalemia
pada pasien yang menggunakan sotalol).
Labetalol dan karvedilol merupakan
beta-bloker yang memiliki tambahan mekanisme kerja vasodilatasi arteriol dengan
mekanisme yang berbeda, sehingga dapat menurunkan resistensi perifer. Tidak ada
bukti bahwa beta-bloker seperti labetalol dan karvedilol tersebut memiliki
manfaat yang berarti dibanding dengan beta-bloker lainnya dalam pengobatan anti
hipertensi.
Beta-bloker dapat mencetuskan asma. Karena
itu, harus dihindari pemberiannya pada pasien dengan riwayat asma atau
bronkospasme. Jika tidak ada alternatif lainnya, beta-bloker kardioselektif
dapat digunakan dengan sangat hati-hati dibawah pengawasan dokter spesialis.
Atenolol, bisoprolol, metoprolol, dan asebutolol efeknya kurang pada reseptor
β2 (bronkial), karena itu relatif kardioselektif, tetapi tidak kardiospesifik.
Beta-bloker tersebut lebih sedikit menimbulkan resistensi saluran nafas, tetapi
tidak bebas dari efek samping ini.
Beta-bloker dapat menyebabkan efek lelah,
rasa dingin di kaki dan tangan (lebih jarang terjadi pada beta-bloker yang
memiliki aktivitas simppatomimetik intrinsik) dan gangguan tidur dengan mimpi
buruk (jarang terjadi pada beta-bloker yang larut dalam air). Beta-bloker tidak
dikonraindikasi pada pasien diabetes tetapi dapat sedikit memperburuk toleransi
glukosa, juga mengganggu respons metabolik atau autonomik terhadap
hipoglikemia. Beta-bloker yang kardioselektif mungkin lebih baik, tetapi semua
beta-bloker sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan episode hipoglikemia yang
sering.
Untuk prngobatan rutin hipertensi tanpa
komplikasi, pemberian beta-bloker sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan
diabetes atau pada pasien dengan resiko tinggi diabetes, terutama jika
dikombinasi dengan diuretika tiazid.
Mekanisme kerja beta-bloker sebagai
antihipertensi belum diketahui dengan pasti. Obat-obat ini mengurangi curah
jantung, mempengaruhi sensitivitas refleks baroreseptor, dan memblok
adrenoreseptor perifer. Beberapa beta-bloker menekan sekresi renim plasma. Efek
sentral dari beta-bloker mungkin juga dapat menjelaskan mekanisme kerjanya.
Beta-bloker efektif untuk menurunkan tekanan
darah namun antihipertensi lain biasanya lebih efektif untuk menurunkan
kejadian stroke, infark miokard, dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler,
terutama pada lansia. Oleh karena itu antihipertensi lain lebih dipilih untuk
pengobatan awal pada hipertensi tanpa komplikasi.
Pada umumnya dosis beta-bloker tidak perlu
tinggi, misalnya dosis atenolol 25-50 mg sehari dan jarang diperlukan
peningkatan dosis sampai 100 mg.
Beta-bloker dapat digunakan untuk mengurangi
frekuensi denyut nadi pada pasien dengan feokrositoma. Namun pada kondisi ini,
beta-bloker harus digunakan bersama alfa-bloker karena dpat menimbulkan krisis
hipertensi. Karena itu, fenoksibenzamin harus selalu digunakan bersama dengan
beta-bloker.
Efek samping dari beta-bloker tersebut dapat
menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan nodus SA dan menurunkan kekuatan
kontraksi miokard. Khusus pada gagal jantung, pendapat lama mengatakan bahwa
beta –bloker merupakan kontraindikasi karena bersifat ionotropik negatif.
Beta-bloker merupakan obat yang baik untuk
hipertensi dengan gejala angina stabil kronik, tetapi dapat memperberat gejala
angina Prinzmetal (angina Varriant), sehingga pemberiannya pada pasien
hipertensi dengan angina harus memperhatikan perbedaan kedua jenis angina ini.
Selain itu, penghentian beta-bloker pada pasien dengan angina tidak boleh
dilakukan secara mendadak karena dapat menimbulkan kambuhnya serangan
hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi (rebound
hypertension) kambuhnya serangan angina bahkan infark miokard pada pasien
angina pektoris.
Bronkospasme merupakan efek samping yang
penting pada pasien dengan riwayat bronkial atau penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK), sehingga pemakaian beta-bloker termasuk yang kardioselektif
merupakan kontraindikasi utnuk keadaan ini.
Pemakaian beta-bloker pada pasien DM yang
mendapat insulin atau obat hipoglikemik oral, sebaiknya dihindari. Sebab
beta-bloker dapat menutupi gejala hipoglikemia.
E. DAFTAR
PUSTAKA
·
DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN TERAPUTIK.2013.FAMAKOLOGI DAN TERAPI.Jakarta.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.