Minggu, 12 April 2015

ARTIKEL β-BLOKER SEBAGAI ANTIHIPERTENSI



β-BLOKER SEBAGAI ANTIHIPERTENSI
A.   PENGATURAN TEKANAN DARAH
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung (cardiac output) dan resistensi vaskular perifer (peripheral vascular resistance). Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume).
B.   KLASIFIKASI HIPERTENSI
Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi :
1.    Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasr patologi yang jelaas. Penyebabnya multifaktorial meliputi genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain, diet, kebiasaan merokok, stres emosi, dan obesitas.
2.    Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipetensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat dan obat-obatan.
C.   MEKANISME ANTI HIPERTENSI
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain :
1.    Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung.
2.    Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi AT II.
3.    Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis protasiklin.
D.   β-BLOKER
Golongan obat ini menghambat adrenoreseptor beta (β-bloker) menghambat adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas, dan hati. Penggunaan beta-bloker pada anak masih terbatas.
Saat ini tersedia banyak beta-bloker yang pada umumnya menunjukkan efektivitas yang sama. Namun, terdapat perbedaan-perbedaan di antara berbagai beta-bloker, yang akan mempengaruhi pilihan dalam mengobati penyakit atau pasien tertentu. Aktivitas simpatomimetik intrinsik menunjukkan kapasitas beta-bloker untuk merangsang maupun memblok reseptor adrenergik.
Beberapa beta-bloker (oksirenolol, pindolol, asebutolol) mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik. Obat-obat ini cenderung kurang menimbulkan bradikardi dibanding beta-bloker lainnya, dan mungkin juga kurang menimbulkan rasa dingin pada kaki dan tangan.
Beberapa beta-bloker larut dalam lemak dan beberapa yang lain larut dalam air. Yang paling larut dalam air adalah atenolol, nadolol, dan sotalol. Karenanya, beta-bloker tersebut sukar masuk ke dalam otak, sehingga kurang menimbulkan gangguan tidur dan mimpi buruk. Beta-bloker larut air tersebut diekskresi oleh ginjal dan seringkali diperlukan pengurangan dosis pada gangguan ginjal.
Beta-bloker yang masa kerjanaya relatif singkat harus diberikan 2 atau 3 kali sehari. Namun, banyak diantaranya yang tersedia sebagai sediaan lepas lambat, sehingga pemberiannya untuk hipertensi cukup sekali sehari. Untuk angina, meskipun dengan sediaan lepas lambat kadang-kadang masih perlu diberikan 2 kali sehari. Beberapa beta-bloker seperti atenolol, bisoprolol, karvedilol, dan nadolol memiliki masa kerja yang panjang sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari.
Beta-bloker memperlamabat denyut jantung dan dapat menyebabkan depresi miokard. Beta-bloker dikontraindikasi pada pasien termasuk anak-anak dengan blok AV derjat dua atau tiga. Beta-bloker harus juga dihindari pada pasien gagal jantung tidak stabil yang memburuk. Diperlukan kehati-hatian dalam memulai pemberian beta-bloker pada pasien gagal jantung stabil. Sotalol dapat memperpanjang interval QT, dan kadang-kadang menyebabkan aritmia ventrikel yang mengancam jiwa (perhatian khusus untuk menghindari hipokalemia pada pasien yang menggunakan sotalol).
Labetalol dan karvedilol merupakan beta-bloker yang memiliki tambahan mekanisme kerja vasodilatasi arteriol dengan mekanisme yang berbeda, sehingga dapat menurunkan resistensi perifer. Tidak ada bukti bahwa beta-bloker seperti labetalol dan karvedilol tersebut memiliki manfaat yang berarti dibanding dengan beta-bloker lainnya dalam pengobatan anti hipertensi.
Beta-bloker dapat mencetuskan asma. Karena itu, harus dihindari pemberiannya pada pasien dengan riwayat asma atau bronkospasme. Jika tidak ada alternatif lainnya, beta-bloker kardioselektif dapat digunakan dengan sangat hati-hati dibawah pengawasan dokter spesialis. Atenolol, bisoprolol, metoprolol, dan asebutolol efeknya kurang pada reseptor β2 (bronkial), karena itu relatif kardioselektif, tetapi tidak kardiospesifik. Beta-bloker tersebut lebih sedikit menimbulkan resistensi saluran nafas, tetapi tidak bebas dari efek samping ini.
Beta-bloker dapat menyebabkan efek lelah, rasa dingin di kaki dan tangan (lebih jarang terjadi pada beta-bloker yang memiliki aktivitas simppatomimetik intrinsik) dan gangguan tidur dengan mimpi buruk (jarang terjadi pada beta-bloker yang larut dalam air). Beta-bloker tidak dikonraindikasi pada pasien diabetes tetapi dapat sedikit memperburuk toleransi glukosa, juga mengganggu respons metabolik atau autonomik terhadap hipoglikemia. Beta-bloker yang kardioselektif mungkin lebih baik, tetapi semua beta-bloker sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan episode hipoglikemia yang sering.
Untuk prngobatan rutin hipertensi tanpa komplikasi, pemberian beta-bloker sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan diabetes atau pada pasien dengan resiko tinggi diabetes, terutama jika dikombinasi dengan diuretika tiazid.
Mekanisme kerja beta-bloker sebagai antihipertensi belum diketahui dengan pasti. Obat-obat ini mengurangi curah jantung, mempengaruhi sensitivitas refleks baroreseptor, dan memblok adrenoreseptor perifer. Beberapa beta-bloker menekan sekresi renim plasma. Efek sentral dari beta-bloker mungkin juga dapat menjelaskan mekanisme kerjanya.
Beta-bloker efektif untuk menurunkan tekanan darah namun antihipertensi lain biasanya lebih efektif untuk menurunkan kejadian stroke, infark miokard, dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler, terutama pada lansia. Oleh karena itu antihipertensi lain lebih dipilih untuk pengobatan awal pada hipertensi tanpa komplikasi.
Pada umumnya dosis beta-bloker tidak perlu tinggi, misalnya dosis atenolol 25-50 mg sehari dan jarang diperlukan peningkatan dosis sampai 100 mg.
Beta-bloker dapat digunakan untuk mengurangi frekuensi denyut nadi pada pasien dengan feokrositoma. Namun pada kondisi ini, beta-bloker harus digunakan bersama alfa-bloker karena dpat menimbulkan krisis hipertensi. Karena itu, fenoksibenzamin harus selalu digunakan bersama dengan beta-bloker.
Efek samping dari beta-bloker tersebut dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Khusus pada gagal jantung, pendapat lama mengatakan bahwa beta –bloker merupakan kontraindikasi karena bersifat ionotropik negatif.
Beta-bloker merupakan obat yang baik untuk hipertensi dengan gejala angina stabil kronik, tetapi dapat memperberat gejala angina Prinzmetal (angina Varriant), sehingga pemberiannya pada pasien hipertensi dengan angina harus memperhatikan perbedaan kedua jenis angina ini. Selain itu, penghentian beta-bloker pada pasien dengan angina tidak boleh dilakukan secara mendadak karena dapat menimbulkan kambuhnya serangan hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi (rebound hypertension) kambuhnya serangan angina bahkan infark miokard pada pasien angina pektoris.
Bronkospasme merupakan efek samping yang penting pada pasien dengan riwayat bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sehingga pemakaian beta-bloker termasuk yang kardioselektif merupakan kontraindikasi utnuk keadaan ini.
Pemakaian beta-bloker pada pasien DM yang mendapat insulin atau obat hipoglikemik oral, sebaiknya dihindari. Sebab beta-bloker dapat menutupi gejala hipoglikemia.
E.   DAFTAR PUSTAKA
·        DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN TERAPUTIK.2013.FAMAKOLOGI DAN TERAPI.Jakarta.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.